Rabu, 15 Juni 2011

Pertempuran Laut Karang, 4 Mei-8 Mei 1942











Pertempuran Laut Karang atau Pertempuran Laut Koral 4 Mei-8 Mei 1942 adalah pertempuran laut besar di medan Perang Pasifik antara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang melawan angkatan laut dan angkatan udara Sekutu dari Amerika Serikat dan Australia. Pertempuran ini merupakan pertempuran laut pertama antara dua armada yang melibatkan kapal induk, dan dicatat sebagai pertempuran laut pertama dalam sejarah yang melibatkan kapal-kapal perang kedua belah pihak yang tidak saling menembak secara langsung dari kapal ke kapal.

Dalam usaha memperkuat posisi defensif wilayah Kekaisaran Jepang di Pasifik Selatan, Kekaisaran Jepang memutuskan untuk menginvasi dan menduduki Port Moresby di Nugini dan Tulagi di tenggara Kepulauan Solomon. Rencana operasi ini disebut Operasi MO yang melibatkan beberapa unit utama dari Armada Gabungan Jepang, termasuk pesawat-pesawat dari dua kapal induk dan sebuah kapal induk ringan sebagai perlindungan udara armada invasi. Sebagai panglima tertinggi Jepang adalah Shigeyoshi Inoue. Amerika Serikat mengendus rencana Jepang lewat intersepsi radio dan mengerahkan dua gugus tugas kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat dan kekuatan gabungan kapal-kapal penjelajah Angkatan Laut Diraja Australia dan Amerika Serikat.

Pada 3 Mei dan 4 Mei, Jepang berhasil menginvasi dan menduduki Tulagi, walaupun beberapa kapal perang tenggelam atau rusak akibat serangan mendadak dari pesawat-pesawat yang berbasis di kapal induk Yorktown. Setelah mengetahui keberadaan kapal-kapal induk Amerika Serikat, armada kapal induk Jepang memasuki Laut Koral (Laut Karang) dengan tujuan menemukan dan menghancurkan semua kekuatan laut Sekutu.

Mulai 7 Juni, kapal induk dari kedua belah pihak saling melancarkan serangan udara selama dua hari berturut-turut. Pada hari pertama, Amerika Serikat menenggelamkan kapal induk ringan Jepang Shōhō. Sebaliknya serangan Jepang menenggelamkan kapal perusak Amerika Serikat dan mengakibatkan sebuah tanker rusak berat hingga harus ditenggelamkan. Pada hari berikutnya, kapal induk Jepang Shōkaku rusak parah, sementara kapal induk Amerika Amerika Serikat Lexington harus ditenggelamkan setelah rusak berat, dan Yorktown mengalami kerusakan. Armada kedua belah pihak mengundurkan diri dari kawasan pertempuran setelah kedua belah pihak mengalami kerugian besar. Pesawat-pesawat hancur dan kapal induk tenggelam atau rusak. Setelah kehilangan perlindungan udara dari kapal induk, Inoue menarik mundur armada invasi Port Moresby dengan maksud mencoba kembali di lain hari.

Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan taktis pihak Jepang dalam hal jumlah kapal-kapal musuh yang berhasil ditenggelamkan. Namun sebaliknya, pertempuran ini berarti kemenangan strategis bagi pihak Sekutu berdasarkan beberapa alasan. Ekspansi wilayah Jepang yang sebelumnya tidak tertahankan, untuk pertama kalinya berhasil ditahan dalam Pertempuran Laut Koral. Jepang juga mengalami kerugian besar. Kapal induk Shōkaku rusak berat sementara Zuikaku kehabisan pesawat sehingga tidak dapat turut serta dalam Pertempuran Midway yang berlangsung bulan berikutnya. Hal tersebut mengakibatkan kekuatan udara Amerika Serikat dan Jepang menjadi berimbang hingga pertempuran laut di Midway berakhir dengan kemenangan Amerika Serikat. Empat kapal induk Jepang tenggelam di Midway sehingga usaha Jepang untuk kembali menginvasi Port Moresby dari laut terhenti. Dua bulan kemudian, Sekutu memanfaatkan kelemahan strategis Jepang di Pasifik Selatan untuk melancarkan Kampanye Militer Guadalkanal. Bersama dengan dilakukannya Kampanye Militer Nugini, Amerika Serikat akhirnya membobol pertahanan Jepang di Pasifik Selatan, dan akhirnya menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Pada 7 Desember 1941, kapal-kapal induk Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan tersebut menghancurkan atau melumpuhkan sebagian besar kapal-kapal tempur Armada Pasifik Amerika Serikat, sekaligus mengawali perang terbuka antara kedua negara. Dalam perang ini, pemimpin-pemimpin perang Jepang berusaha melenyapkan ancaman dari armada Amerika, merampas wilayah-wilayah jajahan Sekutu yang kaya sumber alam, dan menguasai pangkalan militer strategis untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang yang semakin besar. Pada saat yang hampir bersamaan dengan Pengeboman Pearl Harbor, Jepang menyerang Malaya hingga menyebabkan Kerajaan Bersatu, Australia, dan Selandia Baru bergabung dengan Amerika Serikat sebagai Sekutu dalam perang melawan Jepang. Sesuai dengan "Perintah Rahasia Nomor Satu" tertanggal 1 November 1941 yang dikeluarkan Armada Gabungan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, tujuan awal Jepang dalam perang adalah "(melumpuhkan) kekuatan Inggris dan Amerika dari Hindia Belanda dan Filipina, (serta) menetapkan kebijakan kemerdekaan ekonomi dan swasembada secara otonom.

Dalam usaha mencapai tujuan akhir perang, dalam beberapa bulan pertama tahun 1942, tentara Jepang menyerang dan berhasil mengambil alih Filipina, Thailand, Singapura, Hindia Belanda, Kepulauan Wake, Britania Baru, serta Kepulauan Gilbert dan Guam. Dalam proses pengambilalihan wilayah-wilayah tersebut, Jepang mengakibatkan kerugian besar bagi kekuatan darat, laut dan udara pihak Sekutu. Negara-negara taklukan Jepang menurut rencana akan dipakai sebagai pertahanan garis luar bagi Kekaisaran Jepang, sekaligus melancarkan taktik perang menghabiskan tenaga lawan dalam usahanya mengalahkan atau menghabisi serangan balasan Sekutu

Tidak lama setelah perang berlangsung, Staf Umum Angkatan Laut mengeluarkan rekomendasi untuk menginvasi Australia sebagai tindakan pencegahan agar Australia tidak dipakai sebagai pangkalan militer yang mengancam pertahanan garis luar Jepang di Pasifik Selatan. Namun rekomendasi ini ditolak Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang mengemukakan alasan bahwa Jepang tidak memiliki kapasitas kapal dan kekuatan militer yang cukup. Pada saat yang bersamaan, komandan Armada IV Angkatan Laut Jepang Laksamana Madya Shigeyoshi Inoue mengusulkan pendudukan Tulagi yang berada di tenggara Kepulauan Solomon dan Port Moresby di Papua Nugini. Usulannya membuat bagian utara Australia berada dalam jangkauan pesawat-pesawat terbang Jepang yang berpangkalan di darat. Sebagai pimpinan Armada IV yang juga disebut Armada Laut Selatan, Inoue membawahi unit-unit angkatan laut di kawasan Pasifik Selatan. Ia percaya bahwa pendudukan dan penguasaan lokasi-lokasi tersebut akan menjamin keamanan dan pertahanan bagi pangkalan utama Jepang di Rabaul, Britania Baru. Staf Umum Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menerima proposal Inoue dan merencanakan operasi-operasi lanjutan. Dalam operasi lanjutan, lokasi-lokasi yang diusulkan Inoue akan dijadikan pangkalan militer pendukung dalam usaha berikutnya merebut Kaledonia Baru, Fiji, dan Samoa yang bila berhasil akan memutuskan jalur komunikasi dan perbekalan antara Australia dan Amerika Serikat

Pada April 1942, angkatan laut dan angkatan darat menyusun rencana yang diberi nama Operasi MO. Menurut rencana ini, Port Moresby akan diserang dari laut dan harus dapat diamankan sebelum 10 Mei 1942. Rencana yang sama juga mencantumkan pengambilalihan Tulagi pada 2-3 Mei 1942. Angkatan Laut akan menjadikan Tulagi sebagai pangkalan bagi pesawat amfibi yang akan menyerang teritori dan tentara Sekutu di Pasifik Selatan. Setelah Operasi MO selesai disusun, angkatan laut menyusun rencana lain untuk Operasi RY yang bertujuan merebut Nauru dan Kepulauan Banaba yang kaya dengan fosfat pada 15 Mei 1942. Operasi RY akan dilancarkan memakai kapal-kapal yang berpangkalan di lokasi yang telah direbut dalam operasi MO. Operasi militer berikutnya yang disebut Operasi FS bertujuan merebut Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru, dan akan disusun setelah operasi MO dan RY selesai. Pada Maret 1942 pesawat-pesawat Sekutu yang berpangkalan di kapal induk dan di darat menyerang kapal-kapal perang Jepang yang melakukan invasi ke kawasan Lae-Salamaua dan mengakibatkan kerugian bagi Jepang. Oleh karena itu, Inoue meminta Armada Gabungan untuk mengirimkan kapal induk sebagai perlindungan dari udara bagi kekuatan militer Jepang dalam Operasi MO. Inoue terutama menyatakan kecemasannya terhadap pesawat pengebom Sekutu yang berpangkalan di Townsville dan Cooktown, Australia. Kedua pangkalam militer Sekutu tersebut berada di luar jangkauan pesawat pengebom Jepang yang berpangkalan di Rabaul dan Lae.
Shigeyoshi Inoue, komandan Armada IV Angkatan Laut Kekaisaran Jepang

Komandan Armada Gabungan Jepang, Laksamana Isoroku Yamamoto secara bersamaan menyusun operasi militer untuk bulan Juni 1942 yang dimaksudkan agar kapal-kapal induk Amerika Serikat yang belum hancur di Pearl Harbor masuk perangkap dan bertemu dengan armadanya dalam pertempuran menentukan di Samudra Pasifik dekat Atol Midway. Sebagai dukungannya terhadap Operasi MO, Yamamoto mengerahkan beberapa kapal perang besar, termasuk dua kapal induk, satu kapal induk ringan, sebuah divisi kapal penjelajah, dan dua divisi kapal penjelajah, serta menunjuk Inoue sebagai komandan armada



Reaksi Sekutu

Selama bertahun-tahun tanpa diketahui Jepang, Bagian Keamanan Komunikasi, Kantor Komunikasi Angkatan Laut Amerika Serikat telah berhasil menembus sandi komunikasi Jepang. Hingga Maret 1942, Amerika Serikat telah berhasil menguraikan 15% dari kode Ro atau Buku Kode D Angkatan Laut (disebut sandi JN-25B oleh Amerika Serikat) yang dipakai Angkatan Laut Kekaisaran Jepang untuk kira-kira setengah dari komunikasi yang dilakukannya. Hingga akhir April 1942, militer Amerika Serikat sudah dapat membaca 85% dari sinyal yang ditransmisikan memakai kode Ro.

Pada Maret 1942, Amerika Serikat untuk pertama kalinya menangkap pesan Jepang yang menyebut soal Operasi MO. Amerika Serikat pada 5 April menangkap sandi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang ditujukan ke sebuah kapal induk dan kapal-kapal perang berukuran besar lainnya yang sedang menuju kawasan operasi Inoue. Pada 13 April, Inggris menguraikan sandi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang memberi tahu Inoue tentang Divisi Kapal Induk Kelima yang terdiri dari kapal induk Shōkaku dan Zuikaku sedang menuju armada Inoue, diberangkatkan dari Formosa melewati pangkalan utama AL Kekaisaran Jepang di Truk. Pihak Inggris meneruskan pesan ini kepada pihak Amerika Serikat berikut kesimpulan mereka bahwa Port Moresby kemungkinan besar adalah target Operasi MO.

Komandan baru Sekutu di Pasifik yang baru diangkat, Laksamana Chester Nimitz dan para staf membahas tentang pesan Jepang yang bocor dan sepakat pihak Jepang mungkin sedang memulai operasi besar-besaran di Pasifik Barat Daya pada awal Mei dan kemungkinan Port Moresby merupakan target. Sekutu menganggap Port Moresby sebagai pangkalan kunci untuk serangan balasan yang dipimpin Douglas MacArthur terhadap kekuatan militer Jepang di kawasan Pasifik. Staf Laksamana Nimitz juga menyimpulkan kemungkinan operasi militer Jepang mencakup serangan udara dari kapal induk terhadap pangkalan Sekutu di Samoa dan Suva. Setelah berkonsultasi dengan Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest King, Nimitz memutuskan untuk melawan Jepang dengan cara mengerahkan seluruh kapal induk (empat kapal induk) armada Pasifik ke Laut Koral. Pada 27 April, pesan-pesan Jepang yang berhasil ditangkap pihak intelijen Amerika Serikat memastikan sebagian besar rincian dan target Operasi MO and RY.

Pada 29 April 1942, Nimitz mengeluarkan perintah memberangkatkan empat kapal induk bersama kapal-kapal perang pendukung menuju Laut Koral. Di bawah komando Laksamana Muda Fletcher, Gugus Tugas 17 (TF17) terdiri dari kapal induk Yorktown dengan kawalan tiga kapal penjelajah dan empat kapal perusak, serta dukungan logistik dari dua kapal tanker sudah berada di Pasifik Selatan. Dukungan logistik diberangkatkan dari Tongatabu pada 27 April, dan sudah menuju ke Laut Koral. Gugus Tugas 11 (TF11) di bawah komando Laksamana Muda Aubrey Fitch terdiri dari kapal induk Lexington yang dikawal dua kapal penjelajah dan lima kapal perusak sudah berada di antara Fiji dan Kaledonia Baru. Gugus Tugas 16 (TF16) terdiri dari dua kapal induk, Enterprise dan Hornet berada di bawah komando Laksamana Madya William F. Halsey. Mereka baru tiba di Pearl Harbor setelah dipakai dalam Serangan Doolittle di Pasifik tengah sehingga tidak diberangkatkan karena tidak akan sampai tepat waktu di Pasifik Selatan untuk turut serta dalam pertempuran. Nimitz menunjuk Fletcher sebagai komandan armada laut Sekutu di kawasan Pasifik Selatan hingga Halsey tiba bersama TF16.[15] Walaupun kawasan Laut Koral masih di bawah komando MacArthur, Fletcher dan Halsey sewaktu berada di kawasan Laut Koral diperintahkan untuk langsung melapor ke Nimitz, dan bukan ke MacArthur.

Berdasarkan lalu lintas radio dari TF16 yang berhasil ditangkap ketika mereka sedang kembali ke Pearl Harbor, Jepang mengasumsikan semua kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat sedang berada di Pasifik tengah, kecuali satu kapal induk yang sedang berada di Pearl Harbor. Jepang tidak tahu lokasi kapal-kapal induk sisanya, namun tidak mengharapkan kedatangan kapal induk Amerika Serikat hingga Operasi MO mulai berlangsung



Pertempuran
Persiapan
Sepanjang akhir April, kapal selam Jepang RO-33 dan RO-34 memata-matai kawasan yang akan dijadikan tempat pendaratan tentara Jepang. Kapal-kapal selam Jepang juga memeriksa Kepulauan Rossel dan teluk-teluk di Kepulauan Deboyne yang berada di Gugus Kepulauan Louisiade, Selat Jomard, dan jalur pelayaran ke Port Moresby dari sebelah timur. Setelah tidak menemui satu pun kapal Sekutu, mereka kembali ke Rabaul pada 23 April dan 24 April.
Laksamana Muda Kōsō Abe memimpin invasi Jepang ke Port Moresby dengan mengerahkan 12 kapal angkut yang membawa sekitar 5.000 prajurit dari Detasemen Laut Selatan Angkatan Darat Jepang, ditambah sekitar 500 prajurit dari Pasukan Khusus Pendaratan Angkatan Laut III Kure. Kapal angkut Jepang dikawal Kesatuan Serang Port Moresby yang terdiri dari satu kapal penjelajah ringan dan enam kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda Sadamichi Kajioka. Kapal-kapal Abe berangkat dari Rabaul menempuh perjalanan sejauh 840 mil laut (1.556 km) dengan kecepatan 8 knot (15 km/j) menuju Port Moresby pada 4 Mei. Pada hari berikutnya, kapal-kapal Abe bergabung dengan kapal-kapal pengawal di bawah komando Kajioka. Armada Jepang melaju dengan kecepatan 8 knot (15 km/j) dengan rencana transit di Selat Jomard di Louisiade, dan melewati sekitar ujung selatan Pulau Nugini sebelum tiba di Port Moresby pada 10 Mei.[19] Garnisun Sekutu di Port Moresby berjumlah sekitar 5.333 prajurit, namun jumlah pasukan infanteri hanya setengah dari jumlah total, dan semuanya dilengkapi persenjataan yang buruk dan kurang latihan.
Ujung tombak invasi ke Tulagi adalah Kesatuan Invasi Tulagi di bawah komando Laksamana Muda Kiyohide Shima. Kesatuan ini terdiri dari dua kapal penyebar ranjau, dua kapal perusak, enam kapal penyapu ranjau, dua kapal pemburu selam, dan satu kapal angkut yang membawa sekitar 400 prajurit dari Pasukan Khusus Pendaratan Angkatan Laut III Kure. Kesatuan Invasi Tulagi didukung oleh Grup Perlindungan yang terdiri dari kapal induk ringan Shōhō, empat kapal penjelajah berat, dan satu kapal perusak di bawah komando Laksamana Muda Aritomo Gotō. Selain itu masih terdapat Kesatuan Perlindungan terpisah (kadang-kadang disebut Grup Pendukung) yang berada di bawah komando Laksamana Muda Kuninori Marumo. Kesatuan Perlindungan terdiri dari dua kapal penjelajah ringan, kapal induk pesawat amfibi Kamikawa Maru, dan tiga kapal meriam yang bergabung dengan Grup Perlindungan untuk memberikan dukungan proteksi jarak jauh bagi tentara yang menyerbu Tulagi. Setelah Tulagi jatuh pada 3 Mei atau 4 Mei, Grup Perlindungan dan Grup Pendukung diposisikan kembali untuk melindungi invasi Port Moresby.[22] Inoue mengatur jalannya Operasi MO dari atas kapal penjelajah Kashima yang juga dinaikinya ketika tiba di Rabaul dari Truk pada 4 Mei.

Kapal-kapal dalam Grup Perlindungan yang dipimpin Gotō diberangkatkan dari Truk pada 28 April, berlayar melalui Kepulauan Solomon antara Kepulauan Bougainville dan Kepulauan Choiseul sebelum diposkan dekat Kepulauan New Georgia. Kapal-kapal dalam Kesatuan Perlindungan yang dipimpin Marumo diberangkatkan dari Irlandia Baru pada 29 April menuju Teluk Thousand Ships, Kepulauan Santa Isabel, sebelum diposkan sebagai pangkalan pesawat amfibi pendukung invasi Tulagi pada 2 Mei. Kesatuan invasi di bawah komando Shima diberangkatkan dari Rabaul pada 30 April.

Kesatuan Serbu Kapal Induk Jepang berintikan kapal induk Zuikaku dan Shōkaku, serta dua kapal penjelajah berat dan enam kapal perusak yang diberangkatkan dari Truk pada 1 Mei. Kesatuan Serbu ini berada di bawah komando Laksamana Madya Takeo Takagi (sebagai kapal komando adalah kapal penjelajah Myōkō) bersama Laksamana Muda Chūichi Hara yang berkedudukan di atas Zuikaku sebagai komandan taktis pesawat kapal induk. Mereka berlayar melewati sisi timur Kepulauan Solomon dan memasuki Laut Koral dari selatan Guadalkanal. Setelah berada di Laut Koral, kapal-kapal induk ditugaskan untuk memberi perlindungan udara bagi pasukan Jepang yang melakukan invasi, menghancurkan kekuatan udara Sekutu di Port Moresby, dan mencegat serta menghancurkan semua kekuatan angkatan laut Sekutu yang memasuki Laut Koral untuk melakukan serangan balasan.

Dalam perjalanan menuju Laut Koral, kapal-kapal induk Takagi ditugaskan untuk mengantar sembilan pesawat tempur Zero ke Rabaul. Namun cuaca buruk selama dua kali usaha mengantarkan pesawat Zero pada 2 Mei dan 3 Mei memaksa pesawat-pesawat tersebut kembali ke kapal induk yang berada di posisi 240 mil laut (444 km) dari Rabaul. Salah satu pesawat Zero bahkan terpaksa mendarat di laut. Setelah dua kali usaha pengantaran gagal, Takagi dalam usaha menjaga jadwal Operasi MO, terpaksa membatalkan usaha pengantaran pesawat Zero. Kapal-kapal diperintahkannya menuju ke Kepulauan Solomon untuk mengisi bahan bakar.

Sebagai pemberi peringatan dini, Jepang telah mengerahkan kapal selam I-22, I-24, I-28, dan I-29 yang membentuk jaringan pengintai sekitar 450 mil laut (833 km) barat daya Guadalkanal. Namun armada Fletcher sudah lewat lebih dulu dan memasuki Laut Koral sebelum kapal-kapal selam Jepang berada di pos masing-masing. Hal ini menyebabkan Jepang tidak tahu akan keberadaan armada Sekutu di bawah komando Fletcher. Satu kapal selam Jepang, I-21 yang dikirim untuk mengintai sekitar Nouméa diserang oleh pesawat-pesawat dari Yorktown pada 2 Mei. I-21 tidak mengalami kerusakan, namun sepertinya tidak sadar bahwa serangan berasal dari pesawat yang berpangkalan di kapal induk. Kapal selam RO-33 dan RO-34 juga dikerahkan sebagai usaha Jepang memblokade Port Moresby, dan tiba di lepas pantai pada 5 Mei. Keduanya tidak bertemu dengan kapal-kapal Sekutu selama pertempuran berlangsung.

Pagi 1 Mei 1942, Gugus Tugas 17 (TF17) dan Gugus Tugas 11 (TF11) bertemu sekitar 300 mil laut (556 km) barat laut Kaledonia Baru (16°16′S 162°20′E).[28] Fletcher dengan segera memerintahkan TF11 untuk mengisi bahan bakar dari tanker Tippecanoe sementara TF17 mengisi bahan bakar dari Neosho. TF17 selesai mengisi bahan bakar pada hari berikutnya, namun TF11 melapor bahwa pengisian bahan bakar tidak akan selesai hingga 4 Mei. Fletcher memilih untuk melayarkan TF17 ke barat laut menuju Gugus Kepulauan Louisiade. Setelah pengisian bahan bakar selesai, TF11 diperintahkan untuk bergabung pada 4 Mei dengan Gugus Tugas 44 (TF44) yang diberangkatkan dari Sydney dan Nouméa. TF44 adalah armada kapal perang gabungan Australia-Amerika Serikat di bawah komando MacArthur, dipimpin oleh Laksamana Muda John Crace dari Australia. Armada gabungan Australia-Amerika Serikat terdiri dari kapal penjelajah HMAS Australia, HMAS Hobart, dan USS Chicago, serta tiga kapal perusak. Setelah selesai mengisi bahan bakar TF11, tanker Tippecanoe berangkat menuju Laut Koral untuk mengantarkan sisa bahan bakar kepada kapal-kapal Sekutu yang ada di Efate.

Tulagi

Dini hari 3 Mei, armada Shima sampai di lepas pantai Tulagi dan mulai mendaratkan pasukan angkatan laut untuk menduduki Pulau Tulagi. Garnisun kecil pasukan komando Austalia dan unit pengintai Angkatan Udara Diraja Australia telah lebih dulu dievakuasi sebelum kedatangan armada Shima. Tulagi dalam keadaan kosong tidak dijaga. Pasukan Jepang segera memulai pembangunan markas komunikasi dan pangkalan pesawat amfibi. Pesawat-pesawat dari Shōhō memberi perlindungan bagi pendaratan pasukan Jepang hingga setelah tengah hari. Sementara itu, armada Gotō berbalik menuju Bougainville untuk mengisi bahan bakar sebelum bertugas memberi perlindungan bagi pendaratan pasukan Jepang di Port Moresby.

Pukul 17.00 tanggal 3 Mei, Fletcher diberi tahu bahwa armada invasi Jepang ke Tulagi sudah terlihat sehari sebelumnya ketika mendekati selatan Kepulauan Solomon. Tanpa diketahui Fletcher, TF11 telah selesai mengisi bahan bakar pada pagi 3 Mei jauh lebih awal dari jadwal semula, dan hanya terpisah sejauh 60 mil laut (111 km) di sebelah timur TF17. Walaupun demikian, TF11 tidak dapat melaporkan statusnya karena Fletcher memerintahkan periode pengheningan radio. TF17 mengubah arah dan melaju dengan kecepatan 27 knot menuju Guadalkanal sebelum melancarkan serangan udara terhadap pasukan Jepang di Tulagi pada pagi berikutnya.
Pada 4 Mei 1942, dari posisi 100 mil laut (185 km) di selatan Guadalkanal (11°10′S 158°49′E), total 60 pesawat dari Gugus Tugas 17 (TF17) melancarkan tiga serangan udara berturut-turut ke armada Shima di lepas pantai Tulagi. Pesawat-pesawat yang berpangkalan di Yorktown mengejutkan kapal-kapal Shima dan menenggelamkan kapal perusak Kikuzuki (09°07′S 160°12′E) dan tiga kapal penyapu ranjau, merusakkan empat kapal-kapal lainnya, serta menghancurkan empat kapal amfibi yang memberi perlindungan bagi pendaratan pasukan. Pihak Amerika Serikat kehilangan satu pesawat pengebom tukik dan dua pesawat tempur, namun semua awak pesawat akhirnya diselamatkan. Setelah pesawat-pesawatnya kembali pada senja 4 Mei, TF17 mengundurkan diri ke selatan. Walaupun mengalami kerusakan akibat serangan pesawat-pesawat dari kapal induk, pembangunan pangkalan pesawat amfibi diteruskan oleh Jepang dan misi-misi pesawat pengintai diberangkatkan dari Tulagi pada 6 Mei.

Armada Serbu Kapal Induk Jepang di bawah komando Takagi sedang mengisi bahan bakar di 350 mil laut (648 km) utara Tulagi ketika menerima berita adanya serangan dari armada Fletcher pada 4 Mei. Takagi memerintahkan pengisian bahan bakar dihentikan, dan mengubah haluan ke tenggara. Ia juga mengerahkan pesawat-pesawat pengintai untuk mencari kapal-kapal induk Amerika Serikat di sebelah timur Solomon. Kapal-kapal pengintai tidak menemukan apa-apa karena memang kapal-kapal Sekutu tidak berada di kawasan tersebut.

Pukul 08.16 tanggal 5 Mei, TF17 bertemu dengan TF11 dan TF44 di titik pertemuan yang sudah ditentukan sebelumnya, 320 mil laut (593 km) selatan Guadalkanal (15°S 160°E). Pada kira-kira saat yang bersamaan, empat pesawat tempur F4F Wildcat dari Yorktown mencegat pesawat pengintai Kawanishi Tipe 97 dari Skuadron Udara Yokohama yang bergabung dengan Skuadron Tempur 25 (Dai Nijūgo Kōkū Sentai) di Kepulauan Shortland. Pesawat Kawanishi Tipe 97 tersebut ditembak jatuh 11 mil laut (20 km) dari Gugus Tugas 11. Pesawat tersebut tidak mengirimkan pesan radio sebelum jatuh, namun tidak pernah kembali ke pangkalan udara Jepang sehingga diperkirakan jatuh akibat tembakan pesawat Amerika yang berasal dari kapal induk.

Sebuah pesan dari Pearl Harbor memberi tahu Fletcher bahwa intelijen radio telah menguraikan sandi Jepang tentang rencana mereka mendaratkan pasukan di Port Moresby pada 10 Mei, dan kapal-kapal induk Jepang kemungkinan akan berada di dekat konvoi yang melakukan invasi. Berbekal informasi tersebut, Fletcher memerintahkan TF17 untuk mengisi bahan bakar dari tanker Neosho. Setelah selesai mengisi bahan bakar pada 6 Mei, Fletcher berencana melayarkan armadanya ke utara ke arah Gugus Kepulauan Louisiade untuk bertempur pada 7 Mei.

Sementara itu, armada kapal induk Takagi berlayar ke sisi timur Kepulauan Solomon sepanjang hari tanggal 5 Mei, berganti haluan ke barat untuk melewati selatan San Cristobal (Makira), dan memasuki Laut Koral setelah melewati antara Guadalkanal dan Kepulauan Rennell pada dini hari 6 Mei. Takagi mulai mengisi bahan bakar untuk kapal-kapalnya di 180 mil laut (333 km) barat Tulagi untuk mempersiapkan pertempuran antarkapal induk yang ia perkirakan bakal terjadi hari berikutnya.

Pada 6 Mei, Fletcher menggabungkan TF11 dan TF44 menjadi TF17. Pengisian bahan bakar terus dilakukan armada Fletcher yang yakin kapal-kapal induk Jepang masih berada di utara dekat Bougainville. Sepanjang hari, patroli pesawat pengintai dari kapal-kapal induk Amerika gagal menemukan satu pun kapal dari armada Jepang karena mereka berada di luar jarak jangkauan pesawat pengintai.

Pukul 10.00 tanggal 6 Mei, kapal pengintai amfibi Kawanishi dari Tulagi melihat armada TF17 dan melapor ke markas. Laporan diterima Takagi pada pukul 10.50. Ketika itu, armada Takagi berada kira-kira 300 mil laut (556 km) di utara armada Fletcher, hampir di luar jarak jangkauan maksimum pesawat-pesawat di kapal induk. Kapal-kapal Takagi masih mengisi bahan bakar dan belum siap tempur. Takagi mengambil kesimpulan berdasarkan laporan pesawat pengintai bahwa TF17 sedang menuju ke selatan dan makin menjauh dari armada Jepang. Selain itu, armada Fletcher dinaungi awan tebal sehingga Takagi dan Hara memperkirakan pesawatnya akan sulit menemukan kapal-kapal induk Amerika Serikat. Takagi mengerahkan dua kapal induk dengan kawalan dua kapal penjelajah di bawah komando Hara untuk berlayar menuju armada TF17 dengan kecepatan 20 knot (23 mph; 37 km/jam) agar dapat berada di posisi serang ketika ufuk mulai terang pada hari berikutnya, dan kapal-kapal Jepang yang lain sudah selesai mengisi bahan bakar.

Pesawat pengebom B-17 Amerika Serikat yang berpangkalan di Australia beberapa kali diberangkatkan ke Port Moresby untuk menyerang pasukan invasi Jepang, termasuk kapal-kapal perang Gotō sepanjang hari 6 Mei, namun tidak berhasil mengenai sasaran. Melalui radio, markas MacArthur memberitakan kepada Fletcher hasil serangan pesawat pengebom dan lokasi-lokasi pasukan invasi Jepang. Laporan pilot pesawat di bawah komando MacArthur yang melihat sebuah kapal induk (Shōhō) sekitar 425 mil laut (787 km) barat laut armada TF17 meyakinkan Fletcher tentang keberadaan armada kapal induk Jepang yang membantu kesatuan invasi Jepang.

Pukul 18.00 tanggal 6 Mei, Gugus Tugas 17 (TF17) selesai mengisi bahan bakar. Fletcher memerintahkan tanker Neosho yang dikawal kapal perusak Sims untuk pindah ke pos lain jauh ke selatan di (16°S 158°E). TF17 kemudian mengubah haluan ke barat laut menuju Kepulauan Rossel di Louisiade. Tanpa diketahui kedua belah pihak, kapal-kapal induk mereka hanya terpisahkan 70 mil laut (130 km) satu sama lainnya pada pukul 20.00 malam itu. Pada pukul 20.00 (13°20′S 157°40′E), armada di bawah pimpinan Hara mengubah haluan untuk bertemu dengan armada Takagi yang sudah selesai mengisi bahan bakar dan sedang menuju ke arah armada Hara.

Larut malam 6 Mei atau dini hari 7 Mei, Kamikawa Maru selesai menyiapkan pangkalan kapal amfibi di Kepulauan Deboyne yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan udara bagi pasukan invasi Jepang ketika mereka mendekati Port Moresby. Sisa Kesatuan Perlindungan di bawah pimpinan Marumo berada di pos dekat Kepulauan D'Entrecasteaux dengan maksud melindungi konvoi kapal-kapal Abe yang segera tiba.

Pada 06.25 tanggal 7 Mei, armada TF17 berada 115 mil laut (213 km) selatan Kepulauan Rossel. Pada waktu yang bersamaan, Fletcher menugaskan Grup Tugas (TG) 17.3 yang terdiri dari kapal penjelajah dan kapal perusak di bawah komando Crace untuk menutup Selat Jomard. Fletcher sadar kapal-kapal Crace akan bertugas tanpa perlindungan udara karena pesawat-pesawat dari kapal induk TF17 akan sibuk mencari dan menyerang kapal-kapal induk Jepang. Penugasan kapal-kapal perang Crace ke Selat Jomard berarti mengurangi pertahanan antipesawat bagi kapal induk Fletcher. Namun demikian, Fletcher memutuskan perlu mengambil risiko untuk memastikan pasukan invasi Jepang agar tidak lolos mendarat ke Port Moresby sementara dia sibuk bertempur dengan kapal-kapal induk Jepang.

Fletcher memperkirakan armada kapal induk Takagi berada di suatu lokasi dekat Kepulauan Louisiade, di sebelah utara dari tempatnya berada. Yorktown diperintahkannya untuk mengerahkan 10 pesawat pengebom tukik SBD mulai pukul 06.19 pagi untuk mencari kapal-kapal Jepang. Sementara itu, Takagi yang berada kira-kira 300 mil laut (556 km) sebelah timur Fletcher (13°12′S 158°05′E) memberangkatkan 12 pesawat pengebom Tipe 97 pada pukul 06.00 sebagai pesawat pencari kapal-kapal TF17. Hara memperkirakan kapal-kapal Fletcher berada di selatan dan menyarankan Takagi untuk mengerahkan pesawat pencari ke kawasan tersebut. Hampir pada saat yang bersamaan, kapal-kapal penjelajah Gotō yang terdiri dari Kinugasa dan Furutaka memberangkatkan empat pesawat amfibi Kawanishi E7K2 Tipe 94 sebagai pesawat pencari di kapal-kapal Amerika Serikat di tenggara Kepulauan Louisiade. Beberapa pesawat pencari lainnya diberangkatkan Jepang dari Deboyne, empat Kawanishi Tipe 97 dari Tulagi, dan tiga pesawat pengebom Mitsubishi Tipe 1 dari Rabaul. Kedua belah pihak mempersiapkan pesawat-pesawat di kapal induk masing-masing untuk segera bisa diberangkatkan bila musuh ditemukan.

Pukul 07.22, sebuah pesawat pencari dari kapal induk Shōkaku melapor keberadaan kapal-kapal Amerika Serikat pada 182 derajat 163 mil laut (302 km) dari Takagi. Pukul 07.45, pesawat pencari memberi konfirmasi telah menemukan "satu kapal induk, satu kapal penjelajah, dan tiga kapal perusak." Sebuah pesawat pencari lainnya dari Shōkaku ikut memperkuat laporan sebelumnya.[44] Pesawat-pesawat dari kapal induk Shōkaku sebetulnya telah salah lihat. Mereka mengira kapal tanker Neosho dan kapal perusak Sims sebagai dua kapal induk. Berbekal laporan telah ditemukannya kapal-kapal induk Amerika Serikat, Hara atas persetujuan Takagi, segara meluncurkan semua pesawat-pesawat yang tersedia. Sejumlah 79 pesawat yang terdiri dari 18 pesawat tempur Zero, 36 pengebom tukik Tipe 99, dan 24 pesawat torpedo diberangkatkan dari Shōkaku dan Zuikaku pada pukul 08.00. Pada pukul 08.15 mereka sudah terbang dalam formasi menuju lokasi yang menurut laporan penglihatan ada "kapal induk" Amerika Serikat.

Pukul 08.20, salah satu pesawat pengintai dari Furutaka menemukan kapal induk Fletcher, dan segera melaporkannya ke markas Inoue di Rabaul yang kemudian diteruskan ke Takagi. Laporan penglihatan adanya kapal induk Amerika Serikat dikonfirmasi oleh pesawat amfibi dari Kinugasa pada pukul 08.30. Takagi dan Hara keduanya dibingungkan oleh laporan penglihatan yang saling bertentangan. Mereka memutuskan untuk terus menyerang kapal-kapal yang berada di selatan, sementara mengubah haluan kapal-kapal induk mereka ke arah barat laut mendekati lokasi yang dilaporkan pesawat pengintai dari Furutaka.Dari laporan yang saling bertentangan, Takagi dan Hara berkesimpulan ada dua gugus kapal induk Amerika Serikat yang terpisah.

Pukul 08.15, pesawat SBD dari Yorktown dengan pilot John L. Nielsen melihat armada Gotō membayang-bayangi konvoi invasi. Nielsen membuat kesalahan dalam pesan tersandi, dan mengatakan penglihatannya sebagai "dua kapal induk dan empat kapal penjelajah berat" di 10°3′S 152°27′E, 225 mil laut (417 km) sebelah barat laut armada TF17.[48] Fletcher berkesimpulan armada kapal induk utama Jepang sudah ditemukan. Semua pesawat yang ada diberangkatkan dari kapal induk untuk menyerang. Pukul 10.13, sejumlah 93 pesawat Amerika Serikat sudah berada di udara untuk memulai serangan ke armada Jepang. Mereka terdiri dari 18 pesawat tempur Wildcat, 53 pesawat pengebom tukik SBD, dan 22 pesawat pengebom torpedo TBD Devastator. Pukul 10.19, Nielsen mendarat dan menyadari kesalahan kode pesan yang dikirimkannya. Walaupun Shōhō ada di dalam armada Gotō, Nielsen mengira dia hanya melihat dua kapal penjelajah dan empat kapal perusak. Namun pada pukul 10.12, Fletcher menerima laporan dari tiga B-17 Angkatan Darat Amerika Serikat tentang adanya 10 kapal angkut dan 16 kapal perang di 10°35′S 152°36′E, tepatnya di 30 mil laut (56 km) sebelah selatan lokasi penglihatan yang dilaporkan oleh Nielsen. Pesawat-pesawat B-17 sebenarnya melihat kapal-kapal yang sama seperti dilihat Nielsen, kapal induk Shōhō, kapal-kapal penjelajah Gotō, ditambah pasukan invasi ke Port Moresby. Percaya dengan penglihatan awak B-17 yang telah menemukan armada kapal induk Jepang, Fletcher mengarahkan serangan udaranya menuju target.

Pukul 09.15, pesawat-pesawat Takagi yang sampai di lokasi hanya melihat Neosho dan Sims, dan mencari-cari kapal induk Amerika Serikat. Akhirnya pada pukul 10.51, pesawat pencari dari Shōkaku sadar telah salah mengenali tanker dan kapal perusak sebagai kapal induk. Takagi sekarang sadar kapal-kapal induk Amerika sudah berada di tengah-tengah antara armadanya dan konvoi invasi. Pasukan invasi Jepang berada dalam bahaya. Takagi memerintahkan pesawat-pesawatnya segera menyerang Neosho dan Sims lalu pulang ke kapal induk secepat mungkin. Pukul 11.15, pengebom torpedo dan pesawat tempur membatalkan misi, dan kembali ke kapal-kapal induk mereka sementara 36 pesawat pengembom tukik menyerang dua kapal Amerika Serikat.

Empat pengebom tukik menyerang Sims dan sisanya menjadikan Neosho sebagai sasaran. Tiga buah bom tepat mengenai kapal perusak Sims yang pecah jadi dua, dan langsung tenggelam dengan menewaskan semua awak. Dari 192 awak hanya 14 yang selamat. Neosho terkenal 7 bom. Salah satu pengebom tukik terkena tembakan antipesawat dan menghujam ke tanker Neosho. Setelah rusak berat dan mesin mati, Neosho dibiarkan terapung-apung dan tenggelam perlahan di (16°09′S 158°03′E). Sebelum semua sistem mati, Neosho masih sempat memberitahukan telah diserang kepada Fletcher lewat radio, dan berada dalam keadaan gawat. Namun rincian selanjutnya tentang siapa dan apa yang menyerang Neosho tidak diterima karena terganggunya transmisi radio.

Pesawat penyerang Amerika Serikat melihat kapal induk Shōhō dalam jarak dekat di timur laut Kepulauan Misima pada pukul 10.40 dan mulai menyerang. Kapal induk Jepang dilindungi oleh enam pesawat tempur Zero dan dua pesawat tempur Tipe 96 yang terbang sebagai patroli udara bersenjata, sementara pesawat-pesawat lainnya sedang disiapkan di dekat bawah untuk menyerang kapal induk Amerika Serikat. Kapal induk Shōhō dikelilingi kapal-kapal penjelajah dalam formasi berlian, masing-masing dengan jarak 3,000 yard (2.743 m) hingga 5,000 yard (4.572 m.

Penyerang pertama, skuadron Lexington yang dipimpin Letnan Kolonel William B. Ault menghantam Shōhō dengan dua bom seberat 1,000-pound (454 kg) dan lima torpedo hingga menyebabkan kerusakan parah. Pada pukul 11.00 skuadron Yorktown menyerang Shōhō yang sudah terbakar dan hampir tidak bergerak lagi. Mereka menjatuhkan 11 bom atau lebih seberat 1,000-pound (454 kg) dan paling sedikit dua torpedo lagi. Shōhō hancur dan tenggelam pada pukul 11.35 (10°29′S 152°55′E). Cemas akan kedatangan serangan udara lainnya, Gotō menarik mundur kapal-kapalnya ke arah utara, namun memerintahkan kapal perusak Sazanami untuk kembali memunguti awak yang selamat. Hanya 203 dari 834 awak kapal induk Shōhō yang selamat. Tiga pesawat Amerika Serikat jatuh dalam serangan, termasuk dua SBD dari Lexington dan satu dari Yorktown. Total 18 pesawat yang dibawa Shōhō hilang tetapi tiga pesawat tempur patroli udara bersenjata berhasil mendarat darurat di laut dekat Deboyne dan selamat. Pukul 12.10, pesan dikirim ke TF17 tentang keberhasilan misi, pilot SBD dari Lexington dan komandan skuadron Robert E. Dixon mengatakan "Scratch one flat top! Signed Bob.

Pesawat-pesawat Amerika Serikat pulang dan sudah mendarat di kapal induk masing-masing pada pukul 13.38. Pada pukul 14.20, pesawat-pesawat tadi sudah dipersenjatai kembali dan siap diberangkatkan untuk menyerbu Kesatuan Invasi Jepang ke Port Moresby atau kapal-kapal penjelajah Gotō. Walaupun demikian, Fletcher masih cemas tentang keberadaan kapal-kapal induk Jepang yang lainnya. Ia mendapat berita bahwa sumber-sumber intelijen Sekutu memperkirakan paling sedikit ada empat kapal induk Jepang yang dikerahkan dalam Operasi MO. Fletcher berkesimpulan hari akan mulai gelap untuk memulai serangan pada saat kapal-kapal pengintainya dapat menemukan kapal-kapal induk Jepang yang lain. Oleh karena itu, serangan lain untuk hari itu diputuskannya untuk ditunda. Ia memutuskan terus berlayar di bawah lindungan awan tebal sementara pesawat-pesawat tempur terus dipersiapkan untuk bertahan. Fletcher mengubah haluan TF17 ke barat daya.

Setelah menerima berita tentang karamnya Shōhō, Inoue memerintahkan konvoi invasi untuk mengundurkan diri sementara ke utara. Takagi yang pada saat itu berlokasi di 225 mil laut (417 km) timur TF17 diperintahkannya untuk menghancurkan kapal induk Amerika Serikat. Ketika konvoi invasi sedang mengubah haluan, delapan pesawat B-17 Angkatan Darat Amerika Serikat datang menjatuhkan bom-bom, namun tidak mengenai sasaran. Gotō dan Kajioka diperintahkan untuk menyiapkan kapal-kapal mereka di selatan Kepulauan Rossel untuk pertempuran laut malam hari bila kapal-kapal Amerika Serikat muncul dalam jarak tempur.

Pukul 12.40, pesawat amfibi Jepang yang berpangkalan di Deboyne melihat dan melaporkan armada Crace berada di posisi 175 derajat, 78 mil laut (144 km) dari Deboyne. Pukul 13.15, sebuah pesawat Jepang dari Rabaul melihat armada Crace, namun menyampaikan laporan yang salah. Menurut pesawat dari Rabaul, armada Crace terdiri dari dua kapal induk dan berada di posisi 205 derajat, 115 mil laut (213 km) dari Deboyne. Berbekal laporan tersebut, Takagi yang masih menunggu kembalinya pesawat-pesawat yang menyerang Neosho, mengubah haluan kapal ke barat pada pukul 13.30. Takagi memberitakan Inoue pada pukul 15.00 bahwa kapal-kapal induk Amerika Serikat berada paling tidak 430 mil laut (796 km) di sebelah barat posisinya, dan armadanya tidak dapat menyerang pada hari itu.

Dua kelompok pesawat penyerang dari Rabaul yang sudah mengudara sejak pagi hari itu dikerahkan staf Inoue untuk menuju ke posisi kapal-kapal Crace dilaporkan berada. Kelompok pertama terdiri dari 12 pengebom Tipe 1 dilengkapi torpedo. Kelompok kedua terdiri dari 19 pesawat serang darat Mitsubishi Tipe 96 yang dipersenjatai dengan bom. Kedua kelompok pesawat tersebut menemukan dan mulai menyerang kapal-kapal Crace pada pukul 14.30. Dalam laporan, mereka mengklaim telah menenggelamkan kapal tempur kelas "California" serta merusakkan sebuah kapal tempur dan sebuah kapal penjelajah. Pada kenyataannya, kapal-kapal Crace tidak ada yang rusak, dan empat pesawat Tipe 1 ditembak jatuh. Beberapa saat kemudian, tiga pesawat B-17 dari Angkatan Darat Amerika Serikat secara tidak sengaja mengebom kapal-kapal Crace, namun tidak menimbulkan kerusakan.

Crace pada pukul 15.26 berbicara melalui radio dengan Fletcher bahwa dirinya tidak dapat menyelesaikan misi tanpa dukungan udara. Crace mengundurkan diri ke arah selatan ke posisi sekitar 220 mil laut (407 km) tenggara Port Moresby agar makin jauh dari jarak jangkauan pesawat Jepang dari darat atau kapal induk, sambil tetap cukup dekat untuk mengadang armada Jepang bergerak meninggalkan Louisiade lewat Selat Jomard atau Selat Cina. Persediaan bahan bakar di kapal-kapal Crace sudah menipis. Setelah Fletcher memerintahkan pengheningan radio, Crace sama sekali tidak tahu posisi, situasi, atau rencana Fletcher.

Tidak lama selepas pukul 15.00, Zuikaku menangkap pesan (yang tidak benar) dari pesawat pengintai yang berpangkalan di Deboyne. Menurut berita, armada Crace telah mengubah haluan ke tenggara. Staf Takagi berasumsi pesawat pengintainya sedang membayang-bayangi armada Fletcher dan merasa pasti bila kapal-kapal Sekutu tetap melaju ke tenggara, mereka akan berada di dalam jangkauan pesawat-pesawat Jepang beberapa saat sebelum malam tiba. Takagi dan Hara memutuskan untuk segera menyerang memakai kelompok pesawat terpilih, tanpa kawalan pesawat tempur, walaupun berarti pesawat-pesawatnya baru akan kembali setelah gelap.

Hara berusaha mengonfirmasikan lokasi kapal-kapal induk Amerika Serikat. Pukul 15.15, Hara memberangkatkan delapan pengebom torpedo sebagai pesawat pencari yang menyapu 200 mil laut (370 km) ke arah barat. Sementara itu, pesawat pengebom tukik yang menyerang Neosho mendarat kembali di kapal induk. Enam pilot pengebom tukik yang baru saja tiba diberi tahu bahwa mereka akan segera diberangkatkan kembali untuk misi lain. Hara hanya memilih awak pesawat yang paling berpengalaman. Pukul 16.15, Hara memberangkatkan 12 pengebom tukik dan 15 pesawat torpedo dengan instruksi terbang 277 derajat hingga 280 mil laut (519 km). Kedelapan pesawat pencari terbang hingga 200-mil laut (370 km) dan berbalik tanpa melihat adanya kapal-kapal Fletcher.

Pada pukul 17:47, armada TF17 dilindungi naungan awan tebal di posisi 200 mil laut (370 km) sebelah barat armada Takagi mendeteksi pesawat-pesawat Jepang di radar sedang menuju ke arah mereka. Kapal-kapal TF17 mengubah haluan ke tenggara, dan memberangkatkan 11 patroli udara bersenjata Wildcat, termasuk satu pesawat yang diterbangkan oleh James H. Flatley sebagai pencegat. Pesawat-pesawat Jepang begitu terkejut dicegat oleh Wildcat, tujuh pengebom torpedo dan satu pengebom tukik ditembak jatuh. Satu pengebom torpedo rusak berat (dan kemudian jatuh). Sebaliknya hanya tiga Wildcat yang ditembak jatuh.

Setelah menderita kerugian besar akibat serangan Sekutu yang juga mengacaukan formasi kapal-kapal mereka, pimpinan perang Jepang membatalkan misi setelah berunding lewat radio. Pesawat-pesawat Jepang segera membuang persenjataan mereka, dan berbalik arah kembali ke kapal induk. Matahari tenggelam pukul 18.30. Beberapa pengebom tukik Jepang bertemu dengan kapal induk Amerika Serikat di dalam kegelapan sekitar pukul 19.00. Kegelapan membuat mereka tidak sadar sedang mendekati kapal induk musuh. Mereka sempat berputar hendak bersiap untuk mendarat, namun dihalau tembakan antipesawat dari kapal perusak armada TF17. Pada pukul 20.00 armada TF17 dan armada Takagi sudah terpisah sekitar 100 mil laut (185 km). Takagi menyalakan lampu sorot di kapal-kapal perangnya untuk membantu pendaratan 18 pesawat yang selamat. Pada pukul 22.00 semua pesawat telah mendarat dengan selamat.

Sementara itu, Neosho pada pukul 15.18 dan 17.18 masih dapat meradiokan ke TF17 bahwa sedang terbawa arus ke arah barat laut dalam kondisi mulai tenggelam. Koordinat yang diberikan sewaktu Neosho melapor pada pukul 17.18 ternyata salah sehingga menyulitkan usaha penyelamatan. Fletcher lalu diberi tahu satu-satunya pasokan bahan bakar yang terdekat dengannya sudah tamat.

Setelah kegelapan malam mengakhiri operasi pesawat-pesawat pada hari itu, Fletcher memerintahkan TF17 untuk melaju ke barat dan bersiap-siap untuk melancarkan pencarian 360 derajat ketika ufuk mulai terang. Armada Crace juga mengubah haluan ke barat agar berada dalam jangkauan tempur dari Louisiade. Inoue mengontak Takagi dengan perintah agar benar-benar menghancurkan kapal-kapal induk Amerika Serikat pada hari berikutnya, dan menunda pendaratan Port Moresby hingga 12 Mei. Takagi memilih untuk sepanjang malam membawa kapal-kapal induknya 120 mil laut (222 km) ke utara agar dirinya dapat berkonsentrasi pada pagi harinya untuk mencari ke arah barat dan selatan. Selain itu, ia ingin memastikan kapal-kapal induknya dapat memberi dukungan perlindungan bagi konvoi invasi. Gotō dan Kajioka tidak dapat mengirimkan posisi dan koordinat kapal-kapal mereka tepat waktu sehingga tidak dapat melakukan serangan malam ke kapal-kapal perang Sekutu.[64]

Kedua belah pihak berharap untuk dapat bertemu satu sama lainnya pada dini hari berikutnya. Sepanjang malam, para awak mempersiapkan pesawat-pesawat penyerang untuk pertempuran keesokan harinya. Sementara itu, awak pesawat yang kelelahan berusaha untuk tidur beberapa jam. Setelah membaca dokumen Jepang tentang Pertempuran Laut Koral, Laksamana Madya H. S. Duckworth dari Amerika Serikat pada tahun 1972 berkomentar, "Tidak diragukan lagi, 4 Mei 1942 di sekitar Laut Koral, adalah kawasan pertempuran paling membingungkan dalam sejarah dunia."[65] Hara di kemudian hari berkata kepada Panglima Tertinggi Yamamoto, Laksamana Matome Ugaki bahwa dirinya begitu frustrasi dengan "nasib buruk" yang dialami Jepang pada 7 Mei hingga ia merasa ingin berhenti dari angkatan laut.

Pukul 06.15 tanggal 8 Mei, dari posisi di 100 mil (161 km) tenggara Kepulauan Rossel (10°25′S 154°5′E), Hara memberangkatkan tujuh pengebom torpedo untuk mencari kapal-kapal Sekutu di posisi 140 hingga 230 derajat di selatan dan diterbangkan hingga 250 mil laut (463 km) dari kapal-kapal induk Jepang. Ikut membantu dalam pencarian, tiga pesawat Kawanishi Tipe 97 dari Tulagi dan empat pengebom Tipe 1 dari Rabaul. Tepat pukul 07.00, armada kapal induk Jepang mengubah haluan ke barat daya untuk bergabung dengan dua kapal penjelajah Gotō, Kinugasa dan Furutaka sebagai tambahan perlindungan. Kapal-kapal konvoi invasi, kapal-kapal Gotō, dan kapal-kapal Kajioka melaju menuju titik pertemuan di 40 mil laut (74 km) sebelah timur Kepulauan Woodlark untuk menunggu hasil pertempuran antarkapal induk. Malam itu, zona frontal hangat berikut awan rendah menggantung yang pada 7 Mei ikut menyembunyikan kapal-kapal perang Amerika Serikat, sudah pergi ke utara dan timur untuk memayungi kapal-kapal induk Jepang. Visibilitas di lokasi kapal-kapal induk Jepang antara 2 mil (3 km) dan 15 mil (24 km).

Pada pukul 06.35, armada TF17 di bawah kendali taktis Laksamana Muda Fitch sedang berada di posisi 180 mil laut (333 km) tenggara Lousiade ketika memberangkatkan 18 pesawat SBD untuk melakukan pencarian 360 derajat hingga jarak 200 mil laut (370 km). Langit sebagian besar cerah di atas kapal-kapal induk Amerika dengan visibilitas 17 mil laut (31 km).

Pukul 08.20, pesawat SBD yang diterbangkan Joseph G. Smith menemukan kapal-kapal induk Jepang melalui sebuah lubang di tengah awan dan menyampaikannya ke TF17. Dua menit kemudian, kapal pencari dari Shōkaku yang dikepalai Kenzō Kanno melihat TF17 dan memberi tahu Hara. Armada kedua belah pihak hanya terpisah sekitar 210 mil laut (389 km). Kedua pihak berlomba memberangkatkan pesawat-pesawat penyerang.

Pukul 09.15, kapal-kapal induk Jepang melancarkan serangan gabungan yang terdiri dari 18 pesawat tempur, 33 pengebom tukik, 18 pesawat torpedo di bawah komando Mayor Kakuichi Takahashi. Kedua kapal induk Amerika masing-masing melancarkan serangan terpisah. Kelompok penyerang dari Yorktown yang terdiri dari enam pesawat tempur, 24 pengebom tukik, dan 9 pesawat torpedo sudah mengudara pada pukul 09.15. Kelompok penyerang dari Lexington terdiri dari sembilan pesawat tempur, 15 pengebom tukik, dan 12 pesawat torpedo yang lepas landas pukul 09.25. Kapal-kapal induk dari kedua belah pihak melaju dengan kecepatan penuh untuk memperpendek jarak terbang yang harus ditempuh pesawat-pesawat mereka ketika pulang.

Pesawat-pesawat pengebom tukik dari Yorktown di bawah pimpinan William O. Burch sampai di kapal-kapal induk Jepang pada pukul 10.32, namun melambatkan pesawat menanti kedatangan skuadron torpedo yang terbang lebih lambat. Mereka bermaksud melakukan serangan secara simultan. Pada waktu itu, Shōkaku dan Zuikaku terpisah kira-kira 10,000 yard (9.144 m). Namun Zuikaku tersembunyi oleh hujan deras tiba-tiba yang dibawa awan rendah menggantung. Kedua kapal induk dilindungi oleh 16 pesawat tempur Zero yang bertugas sebagai patroli udara bersenjata. Pesawat-pesawat pengebom tukik dari Yorktown memulai serangan terhadap Shōkaku pada pukul 10.57. Shōkaku melakukan manuver drastis, namun dihantam dua bom 1,000-pound (454 kg) yang merobekkan bangunan di atas dek bagian depan kapal dan menyebabkan kerusakan berat di dek hanggar dan dek landasan. Pesawat-pesawat torpedo dari Yorktown menembakkan semua torpedo yang dibawa namun tanpa hasil. Dua pengebom tukik Amerika Serikat dan dua Zero ditembak jatuh ketika serangan terjadi.

Pesawat-pesawat dari Lexington tiba dan menyerang pada pukul 11.30. Dua pengebom tukik menyerang Shōkaku, menghantam kapal induk ini dengan 1,000-pound (454 kg) dan makin memperparah kerusakan. Dua pengebom tukik mengincar Zuikaku, namun luput. Pengebom tukik sisanya dari Lexington tidka berhasil menemukan kapal-kapal induk Jepang di bawah awan tebal. Pengebom torpedo dari Lexington melepaskan 11 buah torpedo yang tidak satu pun mengenai sasaran. Tiga belas pesawat Zero yang sedang berpatroli menembak jatuh tiga Wildcat.

Setelah dek landasan rusak berat serta 233 awak tewas dan luka, Shōkaku tidak lagi dapat beroperasi. Nakhoda Takaji Joshima meminta izin dari Takagi dan Hara untuk meninggalkan pertempuran, dan Takagi setuju. Pukul 12.10, Shōkaku dikawal dua kapal perusak menarik diri ke arah timur laut.
[sunting] Serangan ke kapal induk Amerika Serikat

Pukul 10.55. radar CXAM-1 di Lexington mendeteksi pesawat-pesawat Jepang dalam jarak 68 mil laut (126 km), dan mengutus sembilan Wildcat untuk mencegat. Setelah memperkirakan pengebom torpedo Jepang terbang di ketinggian rendah, enam Wildcat terbang menjadi terbang terlalu rendah hingga tidak menemukan pesawat-pesawat Jepang yang terbang di atas mereka.[74] Akibat pesawatnya banyak yang jatuh pada malam sebelumnya, Jepang tidak dapat melancarkan serangan torpedo secara penuh. Mayor Shigekazu Shimazaki, komandan pesawat torpedo, mengerahkan 14 pengebom torpedo untuk menyerang Lexington dan empat pesawat untuk menyerang Yorktown. Satu pesawat Wildcat menembak jatuh satu pesawat torpedo Jepang, dan 8 pesawat SBD dari Yorktown menghancurkan tiga pesawat torpedo Jepang ketika sedang menurunkan ketinggian hingga posisi serang. Empat SBD ditembak jatuh oleh Zero yang mengawal pesawat torpedo.
Serangan Jepang ke kapal-kapal induk Amerika Serikat dimulai pukul 11.13. Kedua kapal induk terpisah 3,000 yard (2.743 m). Kapal-kapal yang mengawal menembakkan meriam antipesawat. Empat pesawat torpedo menyerang Yorktown namun semuanya luput. Pesawat torpedo sisanya menerapkan taktik militer gerakan menjepit terhadap Lexington yang memiliki radius putar lebih besar dari Yorktown. Pada pukul 11:20, Lexington terkena dua torpedo Type 91. Torpedo pertama menghantam tanki penyimpanan avgas di lambung kiri. Tanpa dideteksi, uap avgas menyebar ke kompartemen sekelilingnya. Torpedo kedua melubangi sistem air utama di lambang kiri hingga mengurangi tekanan air di tiga ruang api depan dan menyebabkan masing-masing boiler mati. Walaupun demikian, Lexington masih dapat berlayar dengan kecepatan 24 knot (28 mph; 44 km/jam) menggunakan boiler yang tersisa. Empat pesawat torpedo Jepang ditembak jatuh oleh meriam antipesawat.

Sejumlah 33 pengebom tukik Jepang memutar untuk menyerang dari arah angin bertiup, dan tidak mulai menukik dari ketinggian 14,000 kaki (4.267 m) hingga tiga atau empat menit setelah pesawat torpedo membuka serangan. Sembilan belas pengebom tukik dari Shōkaku di bawah komando Takahashi mengincar Lexington, sementara 14 pengebom tukik di bawah komando Tamotsu Ema mengincar Yorktown. Pesawat-pesawat Zero melindungi pesawat-pesawat Takahashi dari serangan empat pesawat Wildcat dari Lexington. Dua Wildcat yang terbang memutar di atas Yorktown dapat menggangu formasi pengebom tukik pimpinan Ema. Pesawat pengebom pimpinan Takahashi merusakkan Lexington dengan dua bom yang mengenai sasaran, serta beberapa lainnya yang hampir luput. Kebakaran terjadi di Lexington, namun berhasil dikuasai pada pukul 12.33. Pada pukul 11.27, dek landasan Yorktown terkena satu bom seberat 250-kilogram (551 lb) yang merupakan bom penembus perisai. Bom menembus hingga empat lapis dek sebelum meledak dan menyebabkan kerusakan struktur serius di ruang penyimpanan pesawat. Total 66 awak tewas dan luka berat. Total hingga 12 bom yang hampir luput merusakkan lambung Yorktown di bawah air. Dua pengebom tukik ditembak jatuh oleh pesawat Wildcat ketika serangan berlangsung.

Setelah pesawat-pesawat Jepang menyelesaikan serangan, mereka mulai ditarik mundur, dan yakin telah menyebabkan kerusakan fatal di kedua kapal induk. Dalam perjalanan pulang, mereka meladeki sekelompok pesawat Wildcat dan SBD. Dalam duel udara tersebut, tiga SBD dan tiga Wildcat ditembak jatuh, sementara Jepang kehilangan tiga pengebom torpedo, satu pengebom tukik, dan satu Zero. Pada pukul 12.00, pesawat-pesawat penyerang kedua belah pihak sudah dalam perjalanan pulang ke kapal induk masing-masing. Dalam perjalanan pulang, kedua belah pihak saling berpapasan. Duel udara kembali terjadi. Pesawat yang dipiloti Kanno dan Takahashi ditembak jatuh, dan keduanya tewas.

Pesawat-pesawat penyerang pulang dan mendarat di kapal induk masing-masing antara pukul 12.30 dan 14.30. Walaupun mengalami kerusakan, Yorktown dan Lexington keduanya masih dapat dipakai mendarat oleh pesawat-pesawat yang kembali. Selama pendaratan, karena berbagai alasan, pihak Amerika Serikat harus kehilangan lagi lima pesawat SBD, dua pesawat TBD, dan sebuah Wildcat. Sementara itu, Jepang kehilangan dua pesawat Zero, lima pengebom tukik, dan satu pesawat torpedo. Empat puluh enam dari 69 pesawat Jepang kembali dengan selamat, dan mendarat di Zuikaku. Namun di antaranya, tiga pesawat Zero, empat pengebom tukik, dan lima pesawat torpedo dinyatakan rusak parah hingga tidak mungkin diperbaiki, dan segera dibuang ke laut.

Setelah TF17 mendapatkan kembali semua pesawatnya, Fletcher menimbang-nimbang situasi. Pilot-pilot yang baru pulang melapor bahwa mereka telah membuat sebuah kapal induk Jepang rusak berat, namun satu kapal induk lainnya dapat menghindari dari kerusakan. Fletcher memahami bahwa kedua kapal induknya menderita kerugian besar. Skuadron-skuadron udara yang dimilikinya juga kehilangan banyak sekali pesawat. Bahan bakar juga menjadi masalah dengan tenggelamnya Neosho. Pukul 14.22, Fitch memberi tahu Fletcher bahwa ia menerima laporan tentang dua kapal induk Jepang yang tidak rusak, dan fakta ini didukung oleh intersepsi radio. Percaya bahwa dirinya sedang menghadapi kapal-kapal induk Jepang yang lebih unggul, Fletcher memutuskan untuk menarik mundur TF17 dari pertempuran. Fletcher meradiokan ke MacArthur perkiraan posisi kapal-kapal induk Jepang. Ia juga menyarankan agar MacArthur menyerang kapal-kapal induk Jepang dengan pesawat pengebom yang berpangkalan di darat.

Sekitar pukul 14.30, Hara memberi tahu Takagi bahwa hanya ada 24 pesawat Zero, delapan pengebom tukik, dan empat pesawat torpedo yang operasional. Takagi cemas bahan bakar kapal makin menipis. Bahan bakar kapal penjelajah tersisa 50%, sementara bahan bakar di kapal perusaknya hanya tersisa 20%. Pukul 15.00, Takagi memberitakan Inoue tentang keberhasilan pesawat-pesawat Jepang menenggelamkan dua kapal induk Amerika Serikat, Yorktown dan kapal induk kelas "Saratoga," tapi kerugian besar dalam bentuk pesawat-pesawat yang hancur menyebabkan dirinya tidak dapat meneruskan memberi perlindungan udara untuk invasi. Inoue akhirnya memerintahkan konvoi invasi untuk kembali ke Rabaul karena sebelumnya pesawat pengintai Inoue juga sudah melihat kapal-kapal Crace pada hari itu. Operasi MO ditundanya hingga 3 Juli 1942, dan memerintahkan armadanya untuk berkumpul di timur laut Kepulauan Solomon untuk memulai Operasi RY. Zuikaku dan kapal-kapal pengawalnya mengubah haluan ke arah Rabaul, sementara Shōkaku dipulangkan ke Jepang.


0 komentar:

Posting Komentar